Kiprah para shahabat dan beberapa generasi di belakang mereka selama beberapa abad telah menghasilkan kebaikan yg telah kita saksikan dan tiada perbedaan di antara mereka dalam patokan-patokan di atas dan manhaj kecuali mengenai pemahaman terhadap nash yg disebabkan oleh kemampuan dan latar belakang yg berbeda.

    Fiqh di zaman generasi awal Dengan berpedoman pada patokan-patokan tersebut seperti yg telah diuraikan pada edisi minggu lalu majulah para shahabat dan beberapa generasi di belakang mereka selama beberapa abad dan menghasilkan kebaikan yg telah kita saksikan dan tiada perbedaan di antara mereka dalam patokan-patokan di atas dan manhaj kecuali mengenai pemahaman terhadap nash yg disebabkan oleh kemampuan dan latar belakang yg berbeda dalam memahami Ilat hukum dan krn sebagian diantara mereka mendapatkan dalil sementara yg lain belum mendapatkannya. Ketika datang imam-imam yg berempat mereka mengikuti tradisi generasi yg sebelum mereka hanya sebagian diantara mereka ada yg lbh dekat kepada Sunah seperti; penduduk Hijaz yg kebanyakan pendukungnya para perowi hadits sementara sebagian lagi lbh dekat kepada rasio atau pikiran seperti; orang-orang Irak yg tidak banyak di jumpai dikalangan mereka penghafal-penghafal hadits disebabkan jauhnya tempat mereka dari tempat diturunkannya wahyu. Imam-imam tersebut telah mencurahkan segala kemampuan yg ada pada mereka utk memperkenalkan agama ini dan membimbing manusia dengannya dan mereka larang orang-orang bertaklid atau mengikut secara membabi buta tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Mereka mengatakan “Tidak seorang pun boleh mengikuti pendapat kami tanpa mengetahui alasan kami.”Mereka tegaskan bahwa mazhab mereka adl hadits yg sohih krn mereka tidak ingin diikuti begitu saja sebagaimana halnya orang ma’shum yakni; Nabi SAW. Ketika patokan-patokan diatas dipegang dgn konsisten maka terjadinya perbedaan diantara para fuqoha justru membuat dinamis dan fleksibelnya ilmu fiqh. Perbedaan diantara murid dan guru tidak tabu; Ibnu Abbas banyak berbeda pendapat dgn Ali Umar Zaid bin Tsabit padahal mereka adl guru-gurunya. Para fuqoha tabi’in banyak yg berbeda pendapat dgn para sahabat Imam Malik terkadang berbeda pendapat dgn guru-gurunya yg tabi’in tabiut tabi’in terkadang berbeda pendapat dgn guru-gurunya; Imam Abu dgn Ja’far as Shadiq Imam Syafi’i dgn Imam Malik Imam Ahmad dgn Imam Syafi’i dst. Perbedaan-perbedaan itu tidak sampai melahirkan malapetaka dan gontok-gontokan. Kondisi seperti itu berlangsung sampai abad empat hijrah.
    Redupnya Ilmu Fiqh Pasca para Imam mujtahid terjadilah kemerosotan ilmu fiqh. Secara ringkas ada beberapa faktor yg meredupkan ilmu fiqh;
    TaqlidOrang-orang yg muncul sesudah para imam yg empat kemauan mereka utk berijtihad jadi kendor sebaliknya bangkit naluri meniru dan bertaklid hingga tiap golongan diantara mereka merasa cukup dgn mazhab tertentu yg akan diperdalam diandalkan dan dipegang secara fanatik. Mereka mencurahkan segala tenaga utk membela dan mempertahankannya dan perkataan imam menjadi seperti firman Allah SWT dan mereka tiada berani mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah bila bertentangan dgn kesimpulan yg telah ditarik oleh imam mereka. Bahkan kultus terhadap imam-imam itu demikian mencolok dan berlebihan sampai-sampai Karkhi mengatakan “Setiap ayat atau hadits yg menyalahi pendapat shahabat-shahabat itu kita hendaklah ditakwilkan atau dinasah.” Dan dgn bertaklid dan ta’asub kepada mazhab-mazhab ini hilanglah kesempatan umat utk beroleh petunjuk dari Kitab dan Sunah timbul pula pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan jadilah pendapat-pendapat fukoha yg dikatakan syari’at dan orang yg menyalahi ucapan-ucapan fukoha itu dipandang ahli bid’ah hingga ucapannya itu tak dapat dipercaya dan fatwanya tak boleh diterima.

    Pelembagaan madzhab-madzhab Diantara faktor-faktor yg membantu tersebarnya semangat tradisonal ini ialah usaha yg di lakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa dalam mendirikan sekolah-sekolah dimana pengajarannya terbatas pada suatu atau beberapa mazhab tertentu yg menyebabkan tertujunya perhatian para fuqoha terhadap mazhab-mazhab tersebut dan berpalingnya minat dari berijtihad krn mempertahankan gaji yg jadi nafkah hidup mereka. Sebagai akibat dari tenggelam dalam taklid dan meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah umat Islam terpecah belah dalam golongan-golongan hingga mereka berselisih paham tentang hukum nikahnya seseorang bermazhab Hanafi dgn pria bermazhab Syafi’i. Berkatalah sebagian mereka “Tidak sah krn wanita itu bersikap ragu-ragu dalam keimanannya “Karena pengikut- pengikut mazhab Hanafi membolehkan seseorang muslim itu mengatakan “Saya beriman Insya Allah.” Sedang lainnya mengatakan itu boleh dgn alasan mengqiaskannya kepada wanita golongan ahli Zimmah. Sebagian akibat dari kondisi diatas tersebarnya bid’ah dan terpendamnya panji-panji Sunah melempemnya gerakan akal dan terhentinya kegiatan berpikir serta hilangnya kebebasaan berilmu suatu hal yg menyebabkan lemahnya kepribadian umat dan lenyapnya kehidupan berkarya serta terhambatnya kemajuan dan perkembangan hingga orang-orang pihak luarpun melihat celah dan lubang utk dapat menembus memasuki jantung Islam. Dan akhirnya Fiqih yg sebenarnya Allah SWT menjadikannya sebagai senjata muslim utk menghadapi kehidupan dunia maupun akhirat mengalami kebobrokan yg belum ada taranya hingga berkhidmah padanya lbh banyak menanamkan dengki dan permusuhan merusak hati dan persatuan umat. Para ulamanya hanya berkutat menghafalkan matan dan tidak mengenal kecuali istilah-istilah atau catatan-catatan lampiran bersama pendapat-pendapat yg dikemukakan serta sanggahannya hingga akhirnya Eropa pun menerkam dunia Islam. Kemudian sebagai akibat yg tak dapat dielakan hukum dan budaya asing itulah yg menguasai kehidupan dunia Islam. Dan kemudian suasana di benua Eropa itulah yg mewarnai rumah-rumah jalan-jalan sekolah-sekolah perguruan-perguruan dan tempat-tempat pertemuan kaum muslimin. Derasnya arus dan gelombang sekulerisme Eropa semakin kuat hingga dunia Islam; ulama ormas dan institusi-institusi Islam pun hampir lupa kepada ajaran agamanya; tidak heran jika mereka beramai-ramai menolak syari’at Islam seperti; penolakan terhadap piagam Jakarta di Indonesia.
    Urgensi Mempelajari Fiqh yg pembahasannya mencakup; masalah-masalah ibadat seperti; sholat shaum zakat haji dsb. Dan masalah-masalah muamalat seperti; pernikahan jual beli peradilan dsb sangat penting utk dipelajari supaya kita;
    Beribadah dan bermuamalah atas dasar ilmu dan landasan syar’i yg jelas.
    Untuk mendapatkan kepastian hukum syara’ dalam permasalahan-permasalahan baru.
    Untuk menjawab berbagai tuduhan minor terhadap ajaran Islam umumnya dan fiqh pada khususnya. Referensi

      Dr. Sulaiman al Asyqor Tarikh al Fiqh al Islami Maktabah al Falah al Kuwait 9 - 11
      Shadr al Syari’ah Kitab Al Taudhih ‘ala al Tanqih 1;78
      Ibnu Abidin Hasyiyah Ibnu Abidin al Mathba’ah al Mishriah 1272 1 26
      Shadr al Syari’ah Loc. Cit
      Dr. Sulaiman al Asyqar Op. Cit hal. 18 - 20
      Sayyid Sabiq Fiqh al Sunnah Maktabah al Khadamat al Haditsah Jiddah 1 12-13
      Sayyid Sabiq Ibid hal. 14 - 17 Oleh Jajat Sudrajat LcSumber Aldakwahsumber file al_islam.chm

 
Fiqih atau fiqh (bahasa Arab:ﻓﻘﻪ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.

Fiqih membahas tentang bagaimana cara beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.

Secara Etimologi Dalambahasa Arab, secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu fiqih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.

Sejarah Fiqih >> Masa Nabi Muhammad saw Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur’an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan , walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.

>> Masa Khulafaur Rasyidin Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada dan juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur’an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur’an. Jika di Al-Qur’an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.

Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.

>> Masa awal pertumbuhan Fiqih Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu’awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.

Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fiqih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas’ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas’ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas’ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.

sumber :  http://id.wikipedia.org/